
Oleh karena itu, Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam Rapat Pimpinan TNI 2008 mengungkapkan, TNI harus memprioritaskan pembelian alutsista dan peralatan dari dalam negeri. Langkah ini diambil selain untuk mengantisipasi minimnya anggaran, juga untuk mengurangi kebergantungan pada luar negeri. Sejurus itu, anggota Komisi I DPR Happy Bone Zulkarnain mengungkapkan, memang sudah saatnya Indonesia mengembangkan industri pertahanan dalam negeri yang dimiliki.

Ketiga industri pertahanan ini belum bisa menunjukkan performa secara maksimal. Sebagai contoh, kasus PT DI yang sempat dinyatakan pailit tahun lalu. Ini akibat produsen pesawat terbang kebanggaan Indonesia tidak mampu membayar utang yang mereka tanggung.Dengan modal yang cukup besar, teknologi yang memadai serta usia yang cukup berumur, perusahaan yang dirintis mantan menteri riset dan teknologi di era Orde Baru,BJ Habibie, itu tidak mampu bersaing dengan industri pesawat terbang lainnya.
“Itu Embraier (industri pesawat terbang Brasil) kalau dilihat modalnya lebih kecil dari PT DI. Kemudian, pendirian juga lebih dulu PT DI.Tapi sekarang, Embraier masuk lima besar produsen pesawat di dunia, sementara PT DI hancur. Berarti bukan masalah modal, masalah manajemennya serta profesional yang sangat lemah,”ungkapnya. Kondisi serupa pun juga dialami PT PAL.Sejak didirikan, hingga sekarang perusahaan galangan kapal ini belum bisa memenuhi kebutuhan kapal tempur.

Namun, Pindad justru semakin pintar dengan berusaha mencari alternatif pengadaan dari sumbersumber lain, dan itu sudah dibuktikan secara nyata dengan kegiatan produksi PT Pindad yang hingga kini berjalan lancar. Produk-produk hasil PT Pindad semisal senapan serbu jenis SS-1 maupun SS-2, sudah digunakan sebagai senjata api standar di beberapa kesatuan.Pun dengan amunisi serta berbagai kendaraan tempur produk mereka, juga sudah cukup memadai dari sisi kualitasnya. (thomas pulungan/ faizin aslam/ yani a/SINDO)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar